Senin, 30 April 2012

Hukum Dagang (KUHD)

Pembagian Hukum Privat (Sipil) ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang azasi, tetapi pembagian sejarah dari Hukum dagang. Dapat kita lihat dalam ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 KUHD yang menyatakan : “bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam penyelesaian soal-soal yang di singgung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadakan oleh KUHD itu.
Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian azasi adalah:
1.      Perjanjian jual-beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD tetapi diatur dalam KHUS,
2.      Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdataan ditetapkan dalam KUHD.
Hubungan Hukum Perdata dan Hukum Dagang
Hukum perdata dengan hukum dagang dapat dikatakan saling berkaitan satu denagn yang lainnya sehingga tidak terdapat perbedaan secara prinsipil antara keduanya. Hal ini dibuktikan dalam pasal 1 dan pasal 15 KUH Dagang. Sementara itu, dalam pasal 1 KUH Dagang disebutkan bahwa KUH Perdata seberapa jauh dari padanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini.
Kemudian, dalam pasal 15 KUH Dagang disebutkan bahwa segala persoalan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuana dari pihak-pihak yang bersangkutan, oleh kitab ini dan oleh hukum perdata. Dengan demikian berdasarkan pasal 1 dan pasal 15 KUHD dapat diketahui kedudukan KUH Dagang terhadap KUH Perdata. Pengertiannya KUH Dagang merupakan hukum yang khusus (lex specialis), sedangkan KUH Perdata merupakan hukum yang bersifat umum (lex generalis), sehingga berlaku suatu asas lex specialis derogate lex generali, artinya hukum yang khusus dapat mngesampingkan hukum yang umum.
Prof. Subekti S.H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena itu sebenarnya “Hukum Dagang” tidaklah lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian ekonomi.
Di Nederland sekarang ini sudah ada aliran yang bertujuan menghapuskan pemisahan Hukum Perdata dalam dua kitab Undang-undang itu (bertujuan mempersatukan Hukum Dagang dan Perdata dalam satu Kitab Undang-undang saja)
Pada beberapa Negara lainnya, misalnya Amerika Serikat dan Swiss, tidaklah terdapat suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi orang-orang “pedagang” saja, misalnya:
1.      Hanyalah seorang pedagang yang diperbolehkan membuat surat wesel dan sebagainya.
2.      Hanyalah seorang pedagang yang dapat dinyatakan pailit, akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, juga bagi oarng yang bukan pedagang sebagaimana juga KUHS berlaku bagi setiap orang, juga bagi orang yang bukan pedagang sebagaimana juga KUHS berlaku bagi setiap orang termasuk juga seorang pedagang. Malahan dapatlah dikatakan, bahwa sumber yang penting dari Hukum Dagang ialah KUHS. Hal ini memang dinyatakan dalam pasal 1 KUHD, yang berbunyi : “KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”.

Hal Ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS.
Menurut Prof. Subekti, dengan demikian sudah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai Hukum khusus terhadap Hukum umum.
Dengan perkataan lain menurut Prof. Sudiman Kortohadiprojo: KUHD merupakan suatu Lex Specialis, kalau andaikata dalam KUHD terdapat ketetapan mengenai hal yang dapat aturan pula dalam KUHS, maka ketentuandalam KUHD itulah yang berlaku. Adapun pendapat beberapa sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara lain sebagai berikut:
1.      Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS memuat hukum perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus Hukum Perdata dalam arti sempit itu.
2.      Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS.
3.      Sukardono menyatakan, bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata Umum … sekedar KUHD itu tidak khusu menyimpang dari KHUS”
4.      Tirtamijaya menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.

Berlakunya Hukum Dagang
Sebelum tahun 1983 Hukum Dagang hanya mengikat kepada para pedagang yang melakukan usaha dagang saja. Kemudian sejak tahun 1983 pengertian ‘perbuatan dagang’ menjadi lebih luas dan diubah menjadi ‘perbuatan perusahaan’ yang mengandung arti lebih luas sehingga berlaku bagi setiap pengusaha (perusahaan). Dapat dipahami beberapa pendapat, antara lain :
1.      Menurut Hukum
Perusahaan adalah mereka yang melakukan sesuatu untuk mencari keuntungan dengan menggunakan banyak modal ( dalam arti luas ), tenaga kerja, dan dilakukan secara terus menerus, serta terang-terangan untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
2.      Menurut Mahkamah Agung ( Hoge Raad )
Perusahaan adalah seseorang yang mempunyai perusahaan jika ia berhubungan dengan keuntungan keuangan dan secara teratur melakukan perbuatan-perbuatan yang bersangkut paut dengan perniagaan dan perjanjian.
3.      Menurut Molengraff
Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak ke luar untuk memperoleh penghasilan dengan cara memperdagangkan, menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.
4.      Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1982
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, didirikan dan bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan / atau laba. Dengan demikian ada beberapa pendapat yang dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang dapat baru saja dikatakan menjalankan perusahaan jika telah memenuhi unsur-unsur, seperti berikut :
a.       Terang-terangan,
b.      Teratur bertindak keluar, dan
c.       Bertujuan untuk memperoleh keuntungan materi.

Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha adalah setiap orang atau badang hukum yang langsung bertanggung jawab dan mengambil resiko suatu perusahaan dan juga mewakili secara sah. Oleh karena itu pengusaha dapat berbentuk sebagai berikut :
1.      Ia seorang diri saja,
2.      Ia sendiri dan dibantu oleh para pembantu,
3.      Orang lain yang mengelolah dengan pembantu – pembantu.
Pembantu – pembantu dalam perusahaan terdiri dari dua macam sebagai berikut :
1.      Didalam Perusahaan
Mempunyai hubungan yang bersifat Sub Ordinasi yaitu hubungan atas dan bawah, sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan,
2.      Diluar Perusahaan
Mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi yaitu hubungan yang sejajar, sehingga berlaku suatu perjanjian pemberian kuasa antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dan kan memperoleh upah, seperti yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata, misalnya pengacara, notaris, makelar, dan komisioner.
Dengan demikian hubungan hukum yang terjadi diantara mereka dalam perusahaan dapat bersifat :
1.      hubungan perburuhan, sesuai pasal 1601 a KUH Perdata;
2.      hubungan pemberian kekuasaan, sesuai pasal 1792 KUH Perdata;
3.      hubungan hukum pelayanan berkala, sesuai pasal 1601 KUH Perdata.

Pengusaha dan Kewajibannya
Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. Menurut undang – undang ada kewajiban yang harus dilakukan (dipenuhi) oleh pengusaha, yaitu :
1.      Membuat pembukuan ( sesuai dengan pasal 6 KUH Dagang & undang – undang No.8 tahun 1997 tentang dokumen perusahaan )
Selain itu, di dalam Pasal 2 Undang-Undang No.8 tahun 1997, yang dimaksud dokumen perusahaan adalah :
a.       Dokumen keuangan : Terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data administrasi keuangan yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan
b.      Dokumen lainnya : Terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan.
2.      Mendaftarkan perusahaannya ( sesuai dengan undang – undang No.3 tahhun 1982 tentang wajib daftar perusahaan ).
Pasal 32-35 Undang-Undang No.3 tahun 1982 merupakan ketentuan pidana, sebagai berikut :
a.       Barang siapa yang menurut undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan perusahaan dalam daftar perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
b.      Barang siapa melakukan atau menyuruh melakukan pendaftaran secara keliru atau tidak lengkap dalam daftar perusahaan diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Bentuk-bentuk Badan Usaha
Badan Usaha adalah kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Badan Usaha seringkali disamakan dengan perusahaan, walaupun pada kenyataannya berbeda. Perbedaan utamanya, Badan Usaha adalah lembaga sementara perusahaan adalah tempat dimana Badan Usaha itu mengelola faktor-faktor produksi.
1.      Perusahaan Perseorangan
Perusahaan perseorangan adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perorangan yang bukan berbadan hukum, dapat berbentuk perusahaan dagang, perusahaan jasa, dan perusahaan industri. Secara resmi, tidak ada perusahaan perseorangan, namun telah ada bentuk perusahaan perorangan yang diterima oleh masyarakat yaitu perusahaan dagang. Untuk mendirikan perusahaan dagang, dapat mengajukan permohonan dengan surat ijin usaha (SIU) kepada kantor wilayah perdagangan dan mengajukan surat ijin tempat usaha (SITU) kepada pemerintah daerah setempat.
2.      Perusahaan Persekutuan Bukan Badan Hukum
Perusahaan persekutuan bukan badan hukum adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerja sama dalam bentuk persekutuan perdata.
a.       Persekutuan Perdata
Yaitu suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan kedua orang (pihak) menyetorkan kekayaan untuk usaha bersama.
b.      Persekutuan Firma
Yaitu tiap-tiap perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah nama bersama, yakni anggota-anggotanya langsung dan sendiri-sendiri bertanggung jawab sepenuhnya terhadap orang-orang ketiga. ( Pasal 16 KUH Dagang ).
c.       Persekutuan Komanditer
Yaitu persekutuan untuk menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang persekutuan yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada satu pihak dan atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak lain yang merupakan sekutu komanditer yang bertanggung jawab sebatas sampai pada sejumlah uang yang dimasukkannya. ( Pasal 19 KUH Dagang ).
3.      Perusahaan Persekutuan Berbadan Hukum
Perusahaan persekutuan berbadan hukum adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha swasta, dapat berbentuk perseroan terbatas, koperasi dan yayasan.

Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV), adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari saham-saham, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya. Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.
Perseroan terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan tercantum dalam anggaran dasar. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham yang menjadi bukti pemilikan perusahaan. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut dividen yang besarnya tergantung pada besar-kecilnya keuntungan yang diperoleh perseroan terbatas.
Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut. Perseroan Terbatas adalah perusahaan yang didirikan oleh dua orang atau lebih yang berbadan hukum, dulu 1 mei 1848 PT diatur dalam KUHD namun aturan itu tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Indonesia yang berazaskan demokrasi sesuai dengan pancasila dan UUD 1945, maka dibentuk peraturan baru yang dituangkan dalam UU No.1 tahun 1995 yang mengatur bahwa sebuah PT harus didirikan dengan syarat harus memiliki etikat yang baik, azas kepatutan dan azas kepantasan. dan setelah mengikuti berbagai perkembangan akhirnya dikeluarkan UU No.40 tahun 2007 dimana adanya tambahan tentang Prinsip Tata kelola perseroan yang baik. Minimal 2 orang atau lebih untuk mendirikan PT, dan pendiri wajib mengambil bagian saham, mempunyai nama PT, dan Mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha.
Modal dasar dari membuat suatu PT adalah Rp 50.000.000,- (Pasal 32) dan modal yang dipakai bisa dari modal sendiri ataupun dari Loan (pinjaman dalam negeri maupun luar negeri). organ dalam suatu PT terdapat Direksi, Komisaris, dan RUPS dengan tugasnya masing – masing direksi – menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan  sesuai dengan maksud tujuan perseroan.

Koperasi
Koperasi adalah perserikatan yang memenuhi kebutuhan para anggotanya dengan cara menjual barang kebutuhan anggotanya dengan cara menjual barang keperluan sehari—hari dengan harga murah (tidak bermaksud mengambil untung).
Fungsi dan peran koperasi
1.      Membangun dan mengembangkan potensi ekonomi para anggotanya.
2.      Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
3.      Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional.
4.      Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Struktur Organisasi Koperasi
1.      Rapat Anggota adalah pemegang kekuasaan teringgi dalam operasi.
2.      Pengurus adalah pengurus yang diangkat dengan mencantumkan nama dan anggota pengurus dalam akta pendirian.
3.      Pengawas adalah anggota yang dipilih dalam rapat anggota yang diberikan kekuasaan dan bertanggung jawab kepada anggota.

Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota yang dikelola oleh pengurus dan didirikan untuk tujuan sosial. Beberapa kriteria dan persyarat yayasan adalah :
1.      Yayasan terdiri atas kekayaan yang terpisahkan;
2.      Kekayaan yayasan diperuntukkan untuk mencapai tujuan yayasan;
3.      Yayasan mempunyai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan;
4.      Yayasan tidak mempunyai anggota.
Pendirian Yayasan
Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan mempunyai status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Materi Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Permohonan pendirian yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Yayasan yang telah memperoleh pengesahan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Yayasan Asing
Dalam hal yayasan asing dapat melakukan kegiatan diwilayah Indonesia dengan syarat tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Pihak-pihak yang terkait dengan yayasan :
1.       Pengadilan negeri
pendirian yayasan didaftarkan ke pengadilan negeri.
2.       Kejaksaan
kejaksaan negeri dapat mengajukan permohonan pembubaran yayasan kepada perngadilan jika yayasan tidak menyesuaikan anggaran dasar dalam jangka waktu yang tertentu.
3.       Akuntan public
laporan keuangan yayasan diaudit oleh akuntan oleh akuntan publik yang memiliki izin menjalankan pekerjaan sebagai akuntan publik.
Syarat pendirian yayasan:
1.       yayasan terdiri atas pembina pengurus dan pengawas
2.       yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagai harta kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal
3.       pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia
4.       yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ialah badan usaha yang permodalanya seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh pemerintahan. Status pegawai badan usaha tersebut adalah pegawai negeri. BUMN sendiri sekarang ada 3 macam yaitu perjan,perum,dan persero.
Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleah negara republik indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk mnyediakan barang atau jasa bagi masyarakat.
Pada beberapa BUMN di Indonesia pemerintah telah melakukan perubahan mendasar pada kepemilikannya dengan membuat BUMN tersebut menjadi perusahaan terbuka yang sahamnya bisa dimiliki oleh publik. Sejak yahun 2001 seluruh BUMN dikoordinasikan pengolaanya oleh kemnetrian BUMN, yang dipimpin oleh seorang menteri negara BUMN.

Sumber:

Minggu, 29 April 2012

Hukum Perjanjian

Pengertian Hukum Perjanjian
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian. Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J. Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.

Standar kontrak
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk. Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.” Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini. Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis. Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1.      Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2.      Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract)
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya. Ketentuan ini mengatur tentang :
            a.       Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
            b.      Pengertian kontrak baku.
3.      Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya. Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.      Pasal 2.21
Berbunyi : dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5.      Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6.      UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.      UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.

Macam-macam Perjanjian
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya. Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-Cuma.

Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris. Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Macam-macam perjanjian obligator ialah:
1.      Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan Perjanjian dengan Beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan Beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.      Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.      Perjanjian Konsensuil, Formal dan, Riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4.      Perjanjian Bernama, Tidak Bernama dan, Campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
5.      Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir

Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
3.      Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.      Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
1.      kesempatan penarikan kembali penawaran
2.      penentuan resiko
3.      saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa
4.      menentukan tempat terjadinya perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian atau kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus atau sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan. Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus atau sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak atau perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
1.      Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
2.      Teori Pengiriman (Verzending Theori)
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
3.      Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
4.      Teori penerimaan (Ontvangtheorie)
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.

Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Suatu Perjanjian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
1.      Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2.      Terlambat memenuhi prestasi
3.      Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
1.      Pemenuhan perikatan
2.      Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
3.      Ganti rugi
4.      Pembatalan persetujuan timbal balik
5.      Pembatalan dengan ganti rugi
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Melihat macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1.      Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang
2.      Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3.      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etikat baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
1.      Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
2.      Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
3.      Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
1.      Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
2.      Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.

Sumber: