Monopoli murni adalah
bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual
komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus
merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki
kemiringan negatif untuk komoditi itu.
Secara etimologi, kata “Monopoli” berasal
dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti
penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana pengertian monopoli sebagai suatu kondisi dimana
hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa
tertentu.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan
dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat
Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istilah “monopoli”, disamping itu
terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek
keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar”
dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah
tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang
menguasai pasar, dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi
yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar untuk menerapkan harga
produk yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah “pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan
umum”.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999
memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang Anti Monopoli).
Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih
pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Anti Monopoli.
Kita dapat
mengetahui bagimana kondisi yang memungkinkan timbulnya monopoli. Berikut
adalah penjelasannya:
1. Perusahaan
bisa menguasai seluruh penawaran bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi
komoditi itu. Sebagai contoh, hingga perang dunia II, Alcoa memiliki atau
menguasai hampir setiap sumber bauksit (bahan baku yang penting untuk
memproduksi alumunium) di Amerika Serikat dan dengan mempunyai monopoli penuh
atau produksi aluminium di Amerika Serikat.
2. Perusahaan
bisa memiliki paten yang menghalangi perusahaan lain untuk memproduksi komoditi
yang sama. Sebagai contoh, ketika kertas kaca pertama kali diperkenalkan,
DuPont mempunyai kekuasaan monopoli untuk produksinya berdasarkan hak
paten.
3. Monopoli
bisa ditetapkan melalui pemrintah. Dalam hal ini, perusahaan tesebut ditetapkan
sebagai produsen dan penyalur tunggal barang atau jasa tetapi tunduk pada
pengendalian pemerintah dalam aspek-aspek tertentu dari operasinya.
4. Pada
beberapa industri, hasil yang meningkat atas skala produksi bisa dijalankan
pada berbagai rentang output yang cukup besar agar hanya membiarkan satu
perusahaan untuk memproduksi output ekuilibrium industri. Industri ini disebut
“monopoli alamiah” dan biasa terdapat dalam bidang kepentingan umum dan
transportasi, dalam kasus ini yang biasa dilakukan pemerintah adalah
mengizinkan 1 pelaku monopoli itu beroperasi tetapi harus tunduk pada
pengendalian pemerintah. Misalnya saja, tarif listrik di kota New York
ditetapkan agar Con Edison mendapat “tingkat penghasilan yang normal” (misalnya
10% sampai 15%) dari investasinya.
Pasar Monopoli
adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai
pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut
sebagai "monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang
monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah
barang yang akan diproduksi, semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin
mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual
juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga
terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau
membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
Peraturan monopoli dengan pengendalian harga yaitu
dengan menetapkan harga maksimum pada tingkat dimana kurva SMC memotong kurva
D,pemerintah dapat mendorong perusahaan monopoli itu untuk meningkatkan output
sampai tingkat yang harus diproduksi industri jika diatur menurut batas
persaingan sempurna.
Peraturan lump-sum yaitu
dengan membebankan pajak lump-sum (seperti pajak izin usaha ataupun pajak
keuntungan), pemerintah dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan keuntungan
perusahaan monopoli tanpa mengurangi harga komoditi atau output.
Peraturan monopoli dengan pajak per-unit yaitu
pemerintah mengurangi keuntungan monopoli dengan membebankan pajak per-unit.
Akan tetapi dalam kasus ini perusahaan monopoli dapat mengalihkan sebagian
beban pajak per-unit kepada para konsumen, dalam bentuk harga yang lebih tinggi
dan output yang lebih kecil.
Persaingan monopolistis, yaitu
merupakan organisasi pasar dimana terdapat banyak perusahaan yang menjual
komoditi yang hampir serupa tetapi tidak sama. Beberapa contoh persaingan
monopolistis adalah tempat pemangkas rambut, pompa bensin, toko bahan pangan,
toko minuman keras, toko obat dan sebagainya yang terletak sangat berdekatan
satu sama lain.
Unsur
persaingan berasal dari kenyataan bahwa pasar yang bersaing secara monopolistis
(sebagaimana halnya dalam industri bersaing sempurna), terdapat begitu banyak
perusahaan yang aktivitasnya masing-masing tidak mempunyai pengaruh yang jelas
terhadap perusahaan lain dalam pasar itu. Selanjutnya perusahaan dapat memasuki
atau meninggalkan pasar tanpa banya kesulitan dalam jangka panjang. Unsur
monopolistik tercipta karena begitu banya perusahaan yang berada dipasar
menjual produk yang sangat diferensiasi (bukannya homogen).
Azas dan
Tujuan
Azas
Pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang
(UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan
untuk:
1. memelihara
pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung
mengurangi dan atau menghilangkan persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha..
2. Kepedulian
utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3. Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4. Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
5. Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Kegiatan
yang Dilarang
Dalam
UU No.5/1999, kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal
24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan, seperti halnya
perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas, tindakan secara sepihak.
Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka
dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun
kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut yaitu:
1. Monopoli
: adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.
2. Monopsoni
: adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli
tunggal, sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak
sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan
pasar
Di
dalam UU no.5/1999 Pasal 19, bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi
peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan
praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
: adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi
Dominan
Posisi
dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi
dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan
barang atau jasa tertentu.
Menurut
pasal 33 ayat 2, posisi dominan
adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku
usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu.
Menurut
pasal 33 ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi
seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh
dikuasai swasta sepenuhnya.
6. Jabatan
Rangkap
Dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki
jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang
bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan
lain.
7. Pemilikan
Saham
Berdasarkan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang
memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan
usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan
beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan
Dalam
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang
berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan
bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
a. Penggabungan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau
lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada
yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang
menggabungkan beralih karena hukum kepada Perseroan/Badan Usaha yang menerima
penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
b. Peleburan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha
baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha
yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir
karena hukum.
c. Pengambilalihan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau
mendapatkan, baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan
Usaha yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan
Usaha tersebut terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang
dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51
UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan
tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena
dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan
KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan
kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu
perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU
No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang
oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil
mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan
salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi
KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis
perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat
singkat, dalam satu kalimat saja.
Perjanjian
yang Dilarang
Jika
dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/1999 lebih menyebutkan
secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang
tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Namun hal ini masih
menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai
perjanjian? Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai “tacit agreement” ini
sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam
pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian
dalam anggapan” tersebut.
Sebagai
perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya
perjanjian (contract), termasuk tacit
agreement tetapi juga combination dan
conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar
”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut — collusive behavior — termasuk ke
dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti
Monopoli.
Perjanjian
yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk
sebagai berikut :
1. Oligopoli
: Keadaan
pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga
mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan
harga : Dalam rangka
penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:
a. Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama,
b. Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama,
c. Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar,
d. Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian
wilayah : Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
4. Pemboikotan
: Pelaku usaha
dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan
pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
: Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa.
6. Trust
(persekutuan) : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
: Keadaan
dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi
vertical : Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9. Perjanjian
tertutup : Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian
dengan pihak luar negeri : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri
yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal-hal yang Dikecualikan dalam UU Anti
Monopoli
Di dalam
Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999, terdapat hal-hal yang dikecualikan,
yaitu:
·
Pasal
50
1. perbuatan
dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2. perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu,
dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3. perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan
atau menghalangi persaingan;
4. perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan;
5. perjanjian
kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas;
6. perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7. perjanjian
dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan
dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8. pelaku usaha
yang tergolong dalam usaha kecil;
9. kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
·
Pasal
51
Monopoli dan atau pemusatan
kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan
Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi
amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal
pada UU tersebut:
1. Perjanjian
yang dilarang,
yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama
mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti
perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup,
oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan),
dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat.
2. Kegiatan
yang dilarang,
yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan,
pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat.
3. Posisi
dominan,
pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk
membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku
usaha lain.
Dalam
pembuktian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggunakan unsur
pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan,
dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan
juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diharapkan menjamin hal-hal berikut di
masyarakat:
1. Konsumen
tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman
produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi
alokasi sumber daya alam
4. Konsumen
tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan
konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan
layanannya
6. Menjadikan
harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka
pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan
inovasi dalam perusahaan
Sanksi
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil
penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Masih di pasal yang sama, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal
48 mengenai pidana pokok.
1. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal
49 mengenai pidana tambahan.
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1. pencabutan
izin usaha; atau
2. larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3. penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak
lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar